Matahari mulai merangkak dari tempat
persembunyiannya. Ia pun tak malu untuk menyoroti segala benda yang ada di
sekelilingnya. Benda yang semula gelap pun terlihat indah di pandang mata. Air
embun yang menetes dari dedaunan hijau menambah indah pemandangan hari ini.
Suara gemericik air terjun dan air sungai yang mengalir terdengar syahdu di telinga.
Di sekeliling sungai terdapat hamparan rumput hijau yang luas dan diramaikan
dengan pepohonan dan buah-buahan nan rimbun. Banyak anak kecil berlarian dan
bersenda gurau. Aku berdiri ditengah keramaian anak kecil itu. Rerumputan hijau
nan menyejukkan mata pun ikut meramaikan suasana itu. Seorang gadis kecil
menghampiriku dan berbisik “Terima Kasih paman, sekarang kembalilah” sembari menampakkan
lesung pipinya dengan senyumnya yang manis. Hatiku bertanya-tanya, siapakah
anak ini? dan tempat apakah ini? Dimanakah ini?.
Tiba-tiba terdengar suara tak asing
memanggil namaku. “Yas…Ilyas…sudah sadarkah engkau wahai saudaraku?”. Perlahan aku
membuka mataku. Terasa berat kelopak ini terangkat. Cahaya lampu yang terang
menyilaukan mataku, tiba-tiba tertutupi oleh kepala seseorang yang tak asing
bagiku. Ya..itu wajah Hasyim. Terlihat wajah yang kaget bercampur kecemasan.
“Alhamdulillah kau telah siuman.” Teriak
Hasyim dengan senyum kegembiraan. Kepalaku terasa pusing, ku pegang
kepala ini, ternyata perban pun membalut keningku. Perlahan ku angkat tubuh tak
berdaya ini. Sekujur tubuhku terasa sakit, kaku dan berat untuk aku gerakkan.
Hasyim pun membantuku mengangkat tubuh ini. Suasana di tempat itu begitu ramai. Perawat
yang sedari tadi berlalu lalang mengangkat pasien, dokter yang bekerja keras
menyelamatkan nyawa-nyawa tak berdosa. Teriakan kesakitan dan takbir tiada
henti diteriakkan, terdengar menusuk di telinga hingga menembus kalbu yang
lemah ini.
“Apa
yang terjadi pada diriku Syim? Bukankah aku harus menyelamatkan nyawa-nyawa tak
berdosa itu”.
“sabar
yas, kamu belum sembuh total. Kepalamu terhantam reruntuhan tembok gedung saat
kau menyelamatkan seorang anak kecil yang tertembak salah satu senapan tentara
Israel”
“Dimanakah
anak itu Syim?”
Dengan
penghela nafas panjang Hasyim pun menjawab “heeeeeeh…nyawa anak itu tak
terselamatkan Syim. Sebelum kau melindunginya, anak itu telah tertembak senapan
tentara Israel. Anak itu mengalami pendarahan yang cukup hebat”
Tanpa
disadari aku pun menitikkan air mata. “sudah lah Yas,,,ini mungkin jalan
terbaik yang diberikan Allah untuk anak itu. Mungkin dia lebih bahagia dan bisa
terbang dengan bebas di alam sana.” Seketika, aku langsung teringat wajah anak
kecil nan manis didalam mimpiku. Apakah anak itu yang aku selamatkan?
“Yas,,udah..jangan
melamun. Tubuhmu butuh istirahat ekstra, jangan terlalu banyak pikiran.”
“aku
sudah pulih syim” jeritan pasien dan berita kematian anak itu menjadi
stimulanku untuk berdiri dan melaksanakan kewajibanku sebagai seorang dokter.
Dengan sekuat tenaga aku bangun dari ranjang putih itu. Hasyim dengan refleknya
memapah lenganku.
“jika
memang tidak kuat, jangan kamu paksakan Yas.”
“Tidak,
aku masih kuat, sakitku ini belum seberapa jika di bandingkan sakit hati
anak-anak yang kehilangan orang tuanya, sakit
sang istri yang menjanda ditinggal mati suaminya, sakit seorang ayah dan
ibu yang kehilangan anak-anaknya yang mungil, sakitmu yang telah kehilangan
istrimu beberapa hari yang lalu Syim. Aku tau, itu berat buatmu kawan”
Hasyim
pun menyerah, dia pun memeluk tubuhku yang ringkih ini. “Aku kuat karena masih
ada anak-anakku dan pasien yang harus aku bantu Yas, aku yakin istriku pasti
bahagia di sana, akan aku buktikan bahwa suatu hari ini nyawa istriku ini tak
akan sia-sia”. Tangisan Hasyim pun pecah. Ya..itulah Hasyim, terlihat tegar,
optimis dan disiplin, namun hatinya begitu lembut dan berani. Kami pun
bergabung dengan dokter yang lainnya untuk menjalankan tugas kami. Hasyim
dokter ahli bedah asal Palestina sedangkan aku dokter ahli ortopedi dari
Indonesia dan digabung dengan dokter spesialis lainnya pun berkolaborasi didalam
kamar bedah.
Diluar
sana rudal-rudal, buldoser serta tank-tank besi menghancurkan permukiman
beserta penghuninya. Negeri ini dipenuhi mayat yang tergeletak berserakan, bau
amis darah dan reruntuhan gedung. Negeri ini bak lautan mayat dan darah.
Kebiadaban zionis Israel tak berperikemanusiaan. Mereka tak pandang bulu tak
pandang umur untuk menembak, membunuh
dan menganiaya ratusan bahkan ribuan orang. Disini para wanita bukan memegang
panci, penggorengan dan sendok sayur melainkan menggenggam senjata untuk
bersiaga. Anak-anak yang harusnya memegang buku dan pensil dikala pagi hari,
disini buku dan pensil itu tergantikan oleh sebuah batu dan ketapel. Zionis Israel
dan sekutunya telah memorak-porandakan Palestina. Aku dan Hasyim berpatroli
mengelilingi daerah ini mencari dan menolong para korban yang masih bisa di
selamatkan. Hasyim pun memecahkan kesunyian “ Yas mungkin saat ini orang Israel
menganggap penduduk kami terjajah. Tapi
mereka tak tahu kalau kami terjajah secara fisik semata, namun jiwa kami tidak
akan pernah kalah dan takut oleh senapan yang dapat merenggut nyawa kami.”
Posting Komentar