HEPATITIS



1.         DEFINISI  DAN ETIOLOGI
Hepatitis merupakan penyakit peradangan pada hati (liver) yang penyebabnya dari berbagai macam mulai dari virus sampai dengan obat-obatan. Virus hepatitis termasuk virus hepatotropik yang dapat mengakibatkan hepatitis A (HAV), hepatitis B (HBV), delta hepatitis (HDV), hepatitis C (HCV), hepatitis E (HEV). Hepatitis A, B dan C paling banyak ditemukan.
Hepatitis yang disebabkan oleh virus memiliki beberapa tahapan (akut, fulminante, kronis) tergantung dari durasi dan keparahan infeksi. Hepatitis akut adalah  infeksi virus sistemik yang berlangsung selama kurang dari 6 bulan. Hepatitis kronis adalah gangguan gangguan yang berlangsung selama lebih dari 6 bulan dan merupakan kelanjutan dari hepatitis akut. Hepatitis fulminan adalah perkembangan mulai dari timbulnya hepatitis hingga kegagalan hati dalam waktu kurang dari 4 minggu oleh karena itu hanya terjadi pada bentuk akut. Pada makalah ini hanya akan membahas tentang hepatitis A dan hepatitis B

2.         KLASIFIKASI VIRAL HEPATITIS
2.1       HEPATITIS A
Penyebab penyakit hepatitis A adalah virus Hepatitis A (HAV), termasuk famili picornaviridae berukuran 27 nanometer, genus hepatovirus yang dikenal sebagai enterovirus, berbentuk kubus simetrik dengan diameter 27–28 nm, untai tunggal (single stranded), merupakan RNA virus. Virus Hepatitis A tidak memiliki selubung, bersifat termostabil, tahan asam dan tahan terhadap empedu.  
Virus ini diketahui dapat bertahan hidup dalam suhu ruangan selama  lebih dari 1 bulan. Pejamu infeksi HAV hanya terbatas pada manusia dan beberapa binatang primata. Virus dapat diperbanyak secara in vitro dalam kultur sel primer monyet kecil atau secara invivo pada simpanse.
 Masa inkubasi 15–50 hari (biasanya 30 hari) kemudian menunjukkan gejala klinis. Tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang tinggi terdapat di negara-negara berkembang.
Rute penularannya dapat  melalui kontaminasi oral/fekal. HAV terdapat dalam makanan dan air yang terkontaminasi. Potensi penularan infeksi hepatitis A melalui secret saluran cerna, umumnya pada daerah kumuh berupa endemik .

2.2       HEPATITIS B
Hepatitis B adalah penyebab utama hepatitis kronik ,sirosis, dan karsinoma sel hati. Penyebab penyakit adalah virus Hepatitis B (HBV) yang termasuk famili Hepadnavirus dan berukuran sangat kecil (42 nm).
Virus Hepatitis B merupakan virus DNA. HBV memiliki 3 jenis morfologi dan mampu mengkode 4 jenis antigen, yaitu HBsAg, HBeAg, HBcAg, dan HBxAg. Virus Hepatitis B yang menginfeksi manusia bisa juga menginfeksi simpanse. Virus dari Hepadnavirus bisa juga ditemukan pada bebek, marmut dan tupai tanah, namun virus tersebut tidak bisa menginfeksi manusia. Masa inkubasi mulai dari 6 minggu sampai 6 bulan hingga timbul gejala klinis. Diagnosis dilakukan dengan memeriksa HBs Ag (Hepatitis B surface Antigen). Bila anti HBs nya positif berarti ada antibody berarti tidak perlu dilakukan vaksinasi.
Transmisi pada HBV banyak terjadi lewat kontak dengan darah yang terinfeksi atau sekret tubuh (saliva, cairan vagina, dan semen) atau penggunaan bersama jarum suntik dalam penyalahgunaan obat. Secara umum, penularan bisa terjadi secara vertikal maupun horizontal. Penularan HBV yang utama berasal dari hubungan intim dan transmisi perinatal.
Transmisi horizontal adalah penularan dari satu individu ke individu lainnya seperti  hubungan seksual tidak aman, penggunaan jarum suntik bekas penderita hepatitis B, transfusi darah yang terkontaminasi virus hepatitis B, pembuatan tato, penggunaan pisau cukur, sikat gigi, dan gunting kuku bekas penderita hepatitis B. Sementara itu, berpelukan, dan berjabatan tangan dengan penderita hepatitis B belum terbukti mampu menularkan virus ini.
Transmisi secara vertikal adalah penularan yang terjadi pada masa perinatal yaitu penularan dari ibu kepada anaknya yang baru lahir, jika seorang ibu hamil karier hepatitis B dan HBeAg positif maka bayi yang di lahirkan 90% kemungkinan akan terinfeksi dan menjadi karier juga. Kemungkinan 25% dari jumlah tersebut akan meninggal karena Hepatitis kronik atau kanker hati.
Transmisi perinatal ini terutama banyak terjadi di negara-negara Timur dan negara berkembang. Infeksi perinatal paling tinggi terjadi selama proses persalinan dan diduga tidak berhubungan dengan proses menyusui.





Berikut adalah perbandingan virus hepatitis A dan B

Hepatitis A
Hepatitis B
Inkubasi
2-4 minggu
1-6 bulan
Penularan
fekal-oral, jarang terjadi melalui darah/seks
Darah, seksual, perinatal
Kelompok beresiko
Militer, penitipan anak, lingkungan dengan sanitasi yang buruk
Pecandu obat, homoseksual, tenaga kesehatan, resipien darah
Diagnosis akut
IgM Anti HAV
IgM Anti HBc
HBs Ag
Diagnosis Kronis

anti-HBc total
HBs Ag
Depkes RI, 2007, hal 4


3.         PATOFISIOLOGI
3.1       HEPATITIS AKUT
            Hepatitis virus adalah penyakit yang biasanya sembuh dengan sendirinya dengan kasus rendah sampai tingkat fatal. Virus dapat masuk kedalam sirkulasi (biasanya melalui inokulasi oral atau parenteral atau oleh hubungan sex) dan terakumulasi pada sinusoid hati dan bagian dalam dari hepatosid. Virus bereplikasi pada hepatosid dan menyebar masuk k dalam darah empedu dan cairan tubuh yang lain. Durasi pada tingkat inkubasi spesifik dan bervariasi, pada penjamu tidak ada gejala selama masa inkubasi tersebut. Virus hepatotropik menyebabkan luka pada hati dikarenakan oleh respon imun penjamu atau host atau dari virus secara langsung melewati antigen virus ditemukan pada membran hepatosit penjamu atau sirkulasinya dengan bagian vascular.

3.2       HEPATITIS KRONIK
            Hepatitis virus kronik merupakan penyebab sakit hati kronik, sirosis, gagal hati dan hepatoselular karsinoma (HCC) atau kanker sel hati di seluruh dunia. Hepatitis virus kronik tersebut dapat berkembang dalam bentuk tetap. Beberapa berkembang menjadi fibrosisis hati dan serosis, beberapa berkembang menjadi atau HCC. Perkembangan tersebut mungkin terjadi dalam beberapa decade. Pasien dengan hepatitis virus kronis memiliki limfosit sititoksik dan respon limfosit CD4 yang lemah. Pasie degan infeksi kronis HBC menaglami kekurangan produksi limfosit sitotoksik. Atau respon interveron (IFN) lemah yang menyebabkan limfosit tidak tepat dapat mengarah ke sel target yang terinfeksi. Jika replikasi virus terjadidan kerusakan hepatosit tidak dapat dihambat, maka hepatosit yang berfungsi akan menurun bertahap, fibrosis yang terjadi pada mechanism perbaikan sel akan merusak arsitektur dasar sel, dan terjadilah modul hepatic. Fdibrosis hati dengan modul yang menyebar disebut fibrosis hati.

4.         GEJALA
4.1       HEPATITIS A           
            Hepatitis A pada anak-anak biasanya tidak menimbulkan gejala. Pada orang dewasa, biasanya menimbulkan gejala seperti peningkatan amino transferase dan bilirubin serta anti HAV igM positif, selain itu gejala lainnya  berupa :
ü  Ikterus (menguningnya kulit dan mata)
ü  Kelelahan
ü  Nyeri abdomen kanan-atas    
ü  Kehilangan nafsu makan
ü  Berat badan menurun
ü  Mual dan muntah
ü  Diare
ü  Demam
ü  Air seni seperti teh
ü  Kotoran berwarna pucat
ü  Anoreksia
ü  Malaise


4.2       HEPATITIS B
Hepatitis B adalah infeksi akut bervariasi yaitu
ü  Sakit otot
ü  Lemah, lesu
ü  Demam
ü  Anoreksia
ü  Mual
ü  Mata dan kulit kuning
ü  Air kencing dan tinja berwarna gelap
ü  Hepatomegaly dan splenomegaly
ü  Kurang nafsu makan
ü  Depresi, hilang berat badan
ü  Gelisah
ü  Sakit kepala
ü  Nyeri abdomen kanan-atas
ü  Diare.

5.         TUJUAN TERAPI
Infeksi hepatitis B akut tidak memerlukan terapi anti virus yang terpenting adalah istirahat yang perlu pemberian anti virus adalah infeksi hepatitis B kronis aktif. Tujuan pengobatan hepatitis B krinis adalah untuk menekan laju perkembangan virus hepatitis B (replikasi virus) dan mecegah progresi penyakit hati kronis menjadi sirosis yang berpotensial menuju gagal hati dan mencegah kanker hati

6.         TERAPI NONFARMAKOLOGI
6.1       HEPATITIS A
Hepatitis A memang seringkali tidak berbahaya, namun lamanya masa penyembuhan dapat memberikan kerugian ekonomi dan sosial. Penyakit ini juga tidak memiliki pengobatan spesifik yang dapat mengurangi lama penyakit, sehingga dalam penatalaksanaan Hepatitis A, tindakan pencegahan adalah yang paling diutamakan. Pencegahan Hepatitis A dapat dilakukan baik dengan pencegahan nonspesifik (perubahan perilaku) maupun dengan pencegahan spesifik (imunisasi).

Pencegahan Non-Spesifik
Perubahan perilaku untuk mencegah Hepatitis A terutama dilakukan dengan meningkatkan sanitasi. Petugas kesehatan bisa meningkatkan hal ini dengan memberikan edukasi yang sesuai, antara lain:
ü  Cuci tangan pakai sabun
ü  Pengolahan makanan yang benar
ü  Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
ü  Menggunakan air bersih

Pencegahan Spesifik (Imunisasi)
Pencegahan spesifik Hepatitis A dilakukan dengan imunisasi. Proses ini bisa bersifat pasif maupun aktif. Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan Imunoglobulin. Tindakan ini dapat memberikan perlindungan segera tetapi bersifat sementara. Imunoglobulin diberikan segera setelah kontak atau untuk pencegahan sebelum kontak dengan 1 dosis secara intra-muskular. Efek proteksi dapat dicapai bila Imunoglobulin diberikan dalam waktu 2 minggu setelah terpajan.

6.2       HEPATITIS B
Terapi nonfarmakologi pada penderita hepatitis B berupa :
ü  Makan makanan yang bergizi dan istirahat yang baik
ü  Hindari hubungan seksual tidak sehat
ü  Hindari transfusi darah  dan penggunaan jarum suntik bersamaan
ü  Hindari alkohol

Pencegahan Spesifik (Imunisasi)
Bagi orang yang tidak diimunisasi dan terpajan dengan Hepatitis B, pencegahan postexposure berupa kombinasi HBIG (untuk mencapai kadar anti-HBs yang tinggi dalam waktu singkat) dan vaksin Hepatitis B (untuk kekebalan jangka panjang dan mengurangi gejala klinis) harus diberikan. Untuk pajanan perinatal (bayi yang lahir dari ibu dengan Hepatitis B), pemberian HBIG single dose, 0,5 mL secara intra muskular di paha harus diberikan segera setelah persalinan dan diikuti 3 dosis vaksin Hepatitis B (imunisasi), dimulai pada usia kurang dari 12 jam setelah persalinan. Pemberian HBIG dan Vaksin Hepatitis B dilakukan pada paha yang berbeda. Untuk mereka yang mengalami inokulasi langsung atau kontak mukosa langsung dengan cairan tubuh penderita Hepatitis B, maka profilaksis yang digunakan adalah HBIG single dose 0,06 mL/kg BB, yang diberikan sesegera mungkin. Penderita lalu harus menerima imunisasi Hepatitis B, dimulai dari minggu pertama setelah pajanan. Bila pajanan yang terjadi adalah kontak seksual, maka pemberian dosis HBIG 0,06 mL/kg BB harus diberikan sebelum 14 hari setelah pajanan, dan tentu diikuti dengan imunisasi. Pemberian vaksin Hepatitis B dan HBIG bisa dilakukan pada waktu bersamaan, namun di lokasi injeksi yang berbeda. Pencegahan spesifik pre-exposure dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Hepatitis B pada kelompok risiko tinggi. Vaksin Hepatitis B yang tersedia saat ini merupakan vaksin rekombinan HBsAg yang diproduksi dengan bantuan ragi. Vaksin diberikan sebanyak 4 kali dengan cara injeksi intra muskular pada 0, 2,3 dan 4 bulan. (program imunisasi nasional).

7.         TERAPI FARMAKOLOGI
7.1.      Interferon (IFN)
Merupakan protein berperan sebagai sitikon yang memiliki efek antivirus,imunomodulator dan anti proliferative yang diproduksi oleh tubuh dari berbagai stimulus.Sediaan natural dan rekombian yang paling banyak digunakan dalam klinis adalah IFN alfa.

Mekanisme kerja
Setelah berikatan dengan reseptor selular spesifik,IFN mengaktifasi jalur transduki sinyal.Efek antivirus melalui hambatab penetrasi virus, sintesis mRNA virus,translasi protein virus dan pelepasan virus.Virus dapat dihambat oleh IFN pada bebberapa tahap, tahap hambatannya berbeda pada tiap virus .Namun beberapa virus juga dapat melawan efek IFN dengan cara menghambat kerja protein tertentu yang diinduksi oleh IFN.Salah satunya ialah resistensi HCV terhadap IFN yang disebabkan oleh hambatan aktivitas proten kinase oleh HCV.
Indikasi                 : Pengobatan hepatitis B
Dosis                     : Infeksi HBV ,Dewasa : 5MU/hari atau 10 MU/hari
                                Anakanak :6 MU/m2 3x seminggu selama 4 sampai 6 bulan.
Efek samping        :1. IFN alfa seperti gejala flu,leucopenia dan depresi,anoreksia, rambut rontok,gangguan mood, iritabilitas. Pasien dengan IFN alfa membutuhkan penurunan dosis dan 5% menghentikan obat premature karena efek samping.
2.  IFN juga dapat memperburuk pengobatan penyakit autoimun.

7.2.      Lamivudin
Dimetabolisme di hepatosit menjadi bentuk trifosfat yang aktif. Lamivudin bekerja dengan cara menghentikan sintesis DNA, secara kompetitif menghambat polymerase virus. Lamivudin tidak hanya aktif terhadap HBV wikdtype saja, namun juga terhadap varian precore/core promoter. Selain itu terbukti lamivudidapat mengatasi hiperresposivitas sel T sitotoksik pada pasien yang terinfeksi kronik.
Bioavabilitas oral lamivudin adalah 80%. C max tercapai dalam 0,5 samapai 1,5 jam setelah pemberian dosis. Lamivudin didistribusikan secara luas dengan Vd setara dengan volume cairan tubuh. Waktu paruh plasma 9 jam dan 70% dosis diekskresikandalam bentuk utuh di urin, Sekitar 5 % lamivudin di metabolisme menjadi bentuk tidak aktif. Pada insufisiensi ginjal sedang , dosis perlu diturunkan , Trimetropim menurunkan klirens renal lamivudin.
Dosis   :
Indikasi
Pasien
Dosis
Infeksi HBV kronis
dewasa
100 mg sekali sehari

2-17 tahun
3 mg/kgbb sekali sehari, dapat ditingkatkan sampai 100 mg sekali sehari

< 2 tahun
Keamanan dan efikasi belum ditegakkan

Efek samping : 1. Umumnya ditoleransi baik, fatique, sakit kepala dan mual. Pada dosis yang lebih besar (300 mg, untuk HIV), kecuali terapi HBV , timbul asidosis laktat dan hepatomegaly.
2. Peningkatan ALT dan AST dapat terjadi pada 30 sampai 40 % pasien. Biasanya peningkatan ALT dan AST berhubungan dengan munculnya muatan HBV yang resisten terhadap Lamivudin.

7.3 Ribavirin
Ribavirin trifosfat mengganggu tahap awal transkripsi virus, seperti proses caping dan elongasi mRNA, serta menghambat sintesis ribonukleoprotein.
Dosis               : Peroral 800 sampai 1200 mg/hari terapi HCV
   Bentuk aerosol (larutan 20 mg/ ml)
Efek samping :1.   Ribavirin aerosol menyebabkan iritasi konjugtiva ringan, ruam,mengi yang bersifat sementara.
2.  Ribavirin sistemik, menyebabkan anemia reversibel yang tergantung dosis, serta supresi sumsum tulang.
3.  Kadar tinggi ribavirin trifosfat dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada membran, yang menyebabkan eritrofagositosis oleh reticulum endothelial sistem.
4. Bolus intravena dapat menyebabkan rigor
5.   Pada ± pasien HCV kronik yang mendapat kombinasi IFN Ribavirin menghentikan terapi karena efek samping . Selain dari toksisitas IFN, Ribavirin oral dapat meningkatkan fatique, batuk, ruam, pruritus, mual, insomnia, dispnea, depresi dan anemia.
6.   Pada studi preklinik, Ribavirin bersifat teratogenik, embrio toksik, onkogenik, dan mungkin gunadotoksik.
7.   Ribavirin mutlak dikontrakindikasikan pada wanita hamil.

7.4 Adefovir
            Adefovir penghambat replikasi HBV sangat kuat yang bekerja tidak hanya sebagai DNA chain terminator namun juga meningkatkan aktivitas sel NK dan menginduksi produksi interferon endogen. Spektrum  kerja adefovir adalah HBV, HIV, dan retrovirus lain. Adefovir juga aktif pada virus herpes.
            Adifovir sulit di absorbs tapi dalam bentuk prodruknya diabsorbsi secara cepat dan dimetabolisme oleh esterase dimukosa usus menjadi adifovir dengan bioavailabilitas sebesar 50%. Ikatan protein plasma dapat diabaikan, VD setara dengan cairan tubuh total. Waktu paruh eliminasi setelah pemberian oral prodruk adifovir sekitar 5 sampai 7 jam. Adifovir dieliminasi dalam keadaan tidak berubah oleh ginjal melalui ekskresi tubulus aktif.
Dosis                  : pengobatan infeksi virus hepatitis kronik dewasa 10 mg sekali sehari.
Kontra indikasi : menyusui
Efek samping     : mual, muntah, dyspepsia, nyeri abdomen, vlatulen, diare, asthenia, sakit kepala, gagal ginjal dan kulit kemerahan.

7.5 Entekavir
Entekafir memiliki aktifitas anti hepatnavirus yang kuat. Entekafir mengalamo fosforilasi menjadi bentuk trifosfat yang aktif, yang berperan sebagai competitor substrat natural serta menghambat HBV polymerase. Spektrum aktivitas entekafir aktif terhadap CMV, HSV1 dan 2 serta HBV
Farmakokinetik : entekavir diabsorbsi baik peroral C maks tercapai antara 0,5 sampai 1,5 jam setelah pemberian. Dimetabolisme dalam jumlah kecil dan bukan merupakan substrat sistem sitokrom P450. T1/2 pada pasien dengan fungsi ginjal normal adalah 77 sampai 149 jam. Dieliminasi lewat filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus.
Dosis                 : peroral 0,5 mg/hari dalam keadaan perut kosong. Pada pasien yang gagal terapi dengan lamivudin pemberian entekafir ditingkatkan hingga 1 mg/hari
Efek samping : sakit kepala, ISPA, batuk, nasofaringitis, fatigue, pusing, nyeri abdomen atas dan mual.
                         
Bagan algoritma terapi untuk pasien hepatitis B kronik tanpa sirosis.
Bagan algoritma terapi untuk pasien hepatitis B kronik dengan sirosis.





Guideline terbaru NICE (National Institute of Health and Care Exellence) pada tahun 2013 :
Kondisi Pasien
Pilihan Terapi
Keterangan
Dewasa dengan  hepatitis B kronis
pegIFN a-2a
entecavir
tenovofir disoproxil
Telbivudin tidak direkomendasikan.
Adefovir dipivoxil tidak disarankan, ganti ke :
entecavir
tenovofir disoproxil (bila ada resistensi lamivudin)
Treatment sequence in adults with HBeAg-positive chronic hepatitis B and compensated  liver disease
1st line :
.5.22 cavirvudin.
ada di minggu ke 96 -->pegIFN a-2a 48 minggu. Stop bila HBV DNA turun <2 log10 IU/ml dan atau HbsAg >  20,000 IU/ml. Ganti ke 2nd line.
2nd line :
tenovofir disoproxil (tidak bisa pakai 1st line atau relaps)
entecavir (untuk yg tidak toleran thd tenovofir disoproxil atau KI)
bila HBV DNA tetap ada di minggu ke 96 à tambah lamivudin / entecavir.
Consider stopping nucleoside or nucleotide analogue treatment 12 months after HBeAg seroconversion in people without cirrhosis.
Do not stop nucleoside or nucleotide analogue treatment 12 months after HBeAg seroconversion in people with cirrhosis.
Treatment sequence in adults with HBeAg-negative chronic hepatitis B and compensated liver disease
1st line :
.5.22 cavirvudin.
ada di minggu ke 96 -->pegIFN a-2a 48 minggu. Stop bila HBV DNA turun <2 log10 IU/ml dan atau HbsAg tidak turun. Ganti ke 2nd line.
2nd line :
tenovofir disoproxil atau entecavir.
3rd line :
Tukar 2nd line. Untuk pasien dengan HBV DNA masih terdeteksi di minggu 48.
Consider stopping nucleoside or nucleotide analogue treatment 12 months after achieving undetectable HBV DNA and HBsAg seroconversion in people without cirrhosis.
Do not stop nucleoside or nucleotide analogue treatment after achieving undetectable HBV DNA and HBsAg seroconversion in patients with cirrhosis.
Children and young people with chronic hepatitis B and compensated liver disease
1st line :
.5.22 cavirvudin.
ada di minggu ke 96 -->pegIFN a-2a. Stop di minggu 24 bila HBV DNA turun <2 log10 IU/ml dan atau HbsAg >  20,000 IU/ml. Ganti ke 2nd line.
Ganti ke nukleosida / nukleotida

Adults with decompensated liver disease
Transplant.
Entecavir bila tidak ada sejarah resisten lamivudin.
Bila resisten : tenovofir disoproxil
JANGAN : pegIFN a-2a
Women who are pregnant or breastfeeding
tenovofir disoproxil pada wanita dengan HBV DNA > 107 IU/ml di trimester 3.
Monitor HBV DNA 2 bulan sejak terapi, dan ALT setiap bulan setelah kelahiran.
Imunisasi untuk bayi. menyusui tidak berbahaya bila bayi telah diimunisasi.
Dewasa Koinfeksi HCV
pegIFN a-2a dan ribavirin.

Dewasa konfeksi HDV
pegIFN a-2a 48 minggu. Berhenti bila tidak ada penurunan HDV RNA selama 6 bln – 1 tahun.
Terapi berhenti sampai ada serokonversi.

Terapi profilaksis selama terapi imunosupresi.
HbsAg (+) dan HBV DNA > 2000 IU/mL : entecavir tenovofir disoproxil.
HbsAg (+) dan HBV DNA < 2000 IU/mL :
lamivudin bila imunosupresi < 6 bulan.
entecavir tenovofir disoproxil bila imunosupresi > 6 bulan.
HBsAg (-) and anti-HBc (+) and are starting rituximab or other B cell-depleting therapies: lamivudin.



8.         EVALUASI KEBERHASILAN
Respon terapi dimonitor secara :
ü  biokimia (normalisasi ALT)
ü  pemeriksaan histologis melalui biopsi hati (minimum penurunan 2 poin)
ü  Respon virologis (serum HBV DNA tidak terdeteksi dan hilangnya HbeAg pada pasien HbeAg (+) serta konversi menjadi anti-HBeAg)



9.         INTERAKSI OBAT
Obat A
Obat B
Mekanisme Interaksi + Akibat interaksi
Penanganan
Lamivudin
Zalcitabine
Stockley hal 800*
Manufaktur menyarankan lamivudin tidak digunakan bersama zalcitabine karena lamivudin dapat menghambat aktivasi interselular zalcitabine. Sehingga bersifat antagonis.
Hindari penggunaan bersamaan.
Stavudin
Stockley hal 800*
Interaksi farkin tidak signifikan pada saat studi klinik, namun bukan pilihan karena peningkatan toksisitas seperti lipoatrofi, neuropati perifer, asidosis laktat dengan hepatic steatosis, dengan atau tanpa pankreatitis, kelemahan neuromuskular progresif.
US guideline tidak menyarankan kombinasi ini. stavudin juga buka lini pertama NRTI karena toksisitasnya.
Cotrimoxazole
Stockley 795
Trimethoprim, sendiri atau dalam co-trimoxazole (trimethoprim + sulfamethoxazole) menurunkan klirens renal lamivudin. Tidak signifikan pada pasien dengan fungsi renal normal.
Studi di 14 pasien HIV, terjadi peningkatan kadar lamivudin 43% dan klirens renal menurun 35%.  
MK : hambatan sekresi renal lamivudin di tubulus ginjal.
Tidak perlu perubahan dosis kecuali pada pasien gangguan ginjal.
Monitoring pasien terhadap tanda toksisitas.
Ditambah bahwa Cotrimoxazol umumnya ES tinggi pada pasien AIDS.
Makanan
Stockley 797
Tidak berpengaruh ke absorpsi lamivudin.

Boleh diberikan tanpa atau bersama makanan.
Interferon alfa dan Ribavirin
Stockley 795 / 805
Manufaktur menyarankan bahwa seluruh NRTI untuk pasien yg koinfeksi Hep C yg diobati IFNa dan ribavirin beresiko asidosis laktat.
Monitor pasien dengan ketat.









DAFTAR PUSTAKA
Yulinah E., et al. 2008, ISO Farmakoterapi, Jakarta : PT ISFI Penerbitan.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Jakarta.
DiPiro, T.J., Talbert, L.R., Yee, C.G., Matzke, R.G., Wells, G.B., dan Posey, M.L., Eds, Pharmacotherapy - A Pathophysiologic Approach 7th ed, The McGraw-Hill Companies, Inc., New York-USA.
Badan POM RI, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI), Sagung Seto
Stockley’s drugs interactions 8th ebook.
National Institute of Health and Care Exellence, 2013. NICE clinical guideline No 165. Hepatitis B (chronic) : Diagnosis and management of chronic hepatitis B in children, young people and adults. Diambil dari : guidance.nice.org.uk/cg165

Tjai, Tan Hoan., 2007, Obat-Obat Penting Edisi 6, Depkes RI : Jakarta.

Posting Komentar